Diskursus mengenai Mahasiswa Indonesia di Mesir sudah sepatutnya dihidupkan. Setelah menyentuh angka 15.000 jiwa per tahun ini, tidak menutup kemungkinan bagi Masisir sebagai entitas masyarakat dinamis, memunculkan fenomena-fenomena yang menarik untuk dikaji. Daya selektivitas calon pelajar dari Indonesia yang cenderung rendah, tidak diberlakukannya absensi di kampus, serta lingkungan tergolong bebas akibat jauh dari keluarga sudah menjadi cerita lama. Berdasarkan faktor-faktor ini, tidak heran jika dijumpai pelajar atau mahasiswa yang merasa kesulitan dalam belajar dan mengikuti perkuliahan. Sadar akan kurangnya dalam ilmu wasail, alih-alih mengejar dengan belajar mandiri, justru terdistraksi sana-sini. Kasus lain, niat hati ingin belajar kepada kakak tingkat, namun enggan sebab merasa kurang akrab. 

Kondisi demikian agaknya menjadi pendorong munculnya inisiatif-inisiatif untuk menuntaskan problematika yang ada. Salah satu buah dari inisiatif tersebut adalah fenomena Rumah Binaan. Rumah binaan dalam konteks ini merupakan komunitas yang bergerak dalam bidang keilmuan dan/atau Al-Qur’an. Terhitung pada Desember tahun 2023, terdapat 18 rumah binaan yang tergabung ke dalam Forum Rumah Binaan (FORBINA). Rumah binaan tersebut antara lain Markaz Ushuluddin, Rumah Syariah, Kawakibul Fushoha, Ruwaq Indonesia, Rumah Tahfidz Mesir (RTM), Indonesian Al-Qur’an Center, Manhaj Ilmu, Rumah Tamhid, Ruwaq Melayu, dan Rumah Hiwar.

Penggunaan istilah ‘rumah binaan’ bukan merupakan sesuatu yang muncul begitu saja. Barangkali istilah rumah binaan muncul akibat gejala yang timbul dari sistem dan karakteristiknya seiring berjalan waktu. Istilah ini memberikan kesan dimana adanya relasi erat antara ‘pembina’ dengan ‘yang dibina’, atau secara eksplisit ‘yang membutuhkan’ dengan ‘yang dibutuhkan’. Herimanto & Winarno (2008) mengungkapkan bahwa pada dasarnya manusia memiliki kecenderungan individual yang ingin menyendiri, akan tetapi di sisi lain manusia juga memiliki naluri sosial yang tidak dapat hidup sendiri melainkan berinteraksi dengan sesamanya guna mencapai suatu kepentingan dan kebutuhan hidup. Apabila dielaborasi lebih jauh, adanya interaksi melahirkan komunitas, dan dalam hal ini rumah binaan, menjadi sarana bagi segelintir orang yang memiliki tujuan dan kepentingan yang ingin dicapai bersama.

Rumah Syariah sendiri cenderung mendeskripsikan diri sebagai “komunitas pengembangan keilmuan dan dakwah”. Hingga saat ini, Rumah Syariah memiliki jumlah anggota aktif mencapai 127 mahasiswa yang ditempatkan pada 12 rumah sewaan dan asrama mahasiswa asing Bu’uts Islamiyah. Rumah binaan, dalam konteks ini Rumah Syariah, memandang bahwa senior, mentor, guru, atau pembina, adalah kunci berjalannya proses belajar. Rumah Syariah yang berasas kekeluargaan dan khidmah, alih-alih transaksional material, melebarkan tangan kepada Masisir yang membutuhkan lingkungan keilmuan dan pembinaan. Keilmuan dari segi ilmu alat menggunakan kitab-kitab untuk mubtadi, sementara pembinaan berupa kedisiplinan, adab, dan pengalaman mengorganisir komunitas.  

Cikal bakal rumah binaan umumnya berasal dari inisiatif dan kepedulian Masisir terhadap ruang lingkup keilmuan di kalangan Masisir itu sendiri. Dalam konteks makro, inisiatif semacam ini tidak hanya melahirkan rumah binaan, melainkan kelompok diskusi dan komunitas kajian yang juga sudah banyak ditemukan. Orientasi dan tujuan yang relatif searah, namun diimplementasikan dengan cara dan komunitas pasar yang berbeda. 

Rumah Syariah berorientasi pada Masisir yang berada di tingkat mubtadi dan masih merasa memerlukan bimbingan serta penguatan ilmu alat untuk menunjang pemahaman ketika duduk di kajian masyayikh, atau bahkan perkuliahan. Pada program pusat yang berlangsung selama 2 tahun, tahun pertama diisi dengan kajian Nahu, Saraf, Mantiq, Tauhid, dan Balaghah. Sementara tahun kedua yaitu kajian Ushul Fikih, Qawaid Fikhiyah, talaki wajib, hingga tugas akhir berupa Karya Tulis Ilmiah Akademik (KTIA). Rumah Syariah memiliki prasyarat dan kriteria dalam menghadirkan guru, antara lain haruslah merupakan seseorang yang mengikuti atau bermulazamah langsung dengan masyayikh. Adapun restriksi kegiatan serta kesan eksklusivitas tidak lain bertujuan agar anggota aktif mengoptimalkan secara maksimal segala kegiatan yang ada di Rumah Syariah.

Agaknya kita dapat menyepakati, bahwa seorang alumni rumah binaan, akan dikatakan sekadar bergantung dengan pengajar dengan pengantar Bahasa Indonesia, apabila setelah mempelajari sebuah kitab di rumah binaan ia kembali mengulangi pembelajaran kitab yang sama hanya dengan guru yang berbeda. Hal ini justru bertolak belakang dengan salah satu tujuan jangka pendek Rumah Syariah, yaitu agar alumni memiliki bekal yang semakin matang untuk duduk di kajian masyayikh dengan kajian kitab di tahap selanjutnya. 

Menjadi seseorang yang paham dengan Bahasa Arab dan ilmu keislaman menjadi konsekuensi logis bagi para diaspora Indonesia yang memilih berkuliah di Al-Azhar. Kesadaran dan inisiatif diri sendiri menjadi kunci utama; akan dibawa kemana kesempatan mengenyam pendidikan di Al-Azhar ini? Adapun eksistensi bagi komunitas keilmuan, dengan bentuk dan latar belakang apapun, sepatutnya agar terus terjaga. (Rifa)

Categorized in: