Oleh: Fachry Al-Hidayah

Literasi bukan sekedar banyak membaca, tapi kemampuan mengolah informasi. Membaca hanya sarana mengumpulkan informasi, lantas kalau informasi itu hanya menumpuk di kepala, apakah fungsinya hanya berhenti di situ saja? Apakah fungsinya hanya sekedar menghilangkan kebodohan pribadi? Lantas bagaimana dengan pengelolaan informasi tersebut, seberapa penting mana, antara indeks membaca yang tinggi tapi kemampuan mengelola hasil bacaannya minim, dibanding hasil bacaan yang minim tapi kemampuan pengelolaan informasi yang tinggi dan akurat. Kalau bisa keduanya, kenapa tidak? 

Terutama bagi mereka yang memiliki identitas sebagai pelajar, kemampuan mengelola informasi bisa diasah melalui forum-forum diskusi ataupun menyampaikan suatu gagasan di depan umum. Namun, manfaat hasil olahan itu tentu masih terbatas terhadap orang-orang di sekelilingnya. Adapun hasil olah literasi yang paling ampuh dan paling luas manfaatnya yaitu dengan menulis. Peningkatan minat literasi dengan cara menulis, membuat siklus perputaran antara pengumpulan informasi dan pengelolaannya menjadi lebih cepat dan berkembang. Hal ini pula yang membuat Islam pernah menguasai peradaban dunia selama beberapa abad. Lewat semangat literasi para ulama dan perhatian para talib yang tinggi terhadap ilmu (padahal waktu itu informasi masih sangat terbatas dan minim), namun karena jiwa literasi mereka yang tinggi dan dibuktikan dengan tulisan-tulisan yang luar biasa, menjadikan Islam maju dan tak tertandingi. 

Ironinya kenyataan sekarang berbanding terbalik, informasi sudah tersebar sana-sini, dengan kemajuan teknologi yang seharusnya mendukung kemajuan literasi, malah seakan-akan kita kewalahan terhadap pengelolaan arus informasi tersebut. Atau bisa juga karena kemajuan teknologi yang harusnya menjadi penunjang tersebarnya informasi, malah didisfungsikan sebagai sarana untuk hal-hal yang tidak bermanfaat. 

Selain itu, berkurangnya minat literasi bisa jadi disebabkan karena kurangnya minat membaca dan menulis. Adapun kurangnya minat menulis tidak jarang dikarenakan kondisi psikis seseorang yang belum siap menerima kritik ketika menghasilkan karya. Hal ini berdampak pada terkekangnya kebebasan dalam mengekspresikan sesuatu. Padahal, kritik seharusnya bisa membangun dan membuatnya berkembang. Adapun hujatan, cara menyikapinya secara bijak adalah cukup dengan bersabar dan menganggap bahwa ini merupakan bagian dari proses pembelajaran, baik dalam meningkatkan mutu penulisan maupun melatih sikap kedewasaan.

Apapun masalahnya, waktu kita masih ada untuk menyadarkan kembali betapa pentingnya menciptakan lingkungan kondusif yang menghidupkan kembali kebiasaan mencari ilmu dan informasi sebanyak-banyaknya, terutama pengelolaan ilmu tersebut melalui bentuk tulisan. Dengan semakin banyaknya karya tulis, maka semakin luas literasi yang mengakibatkan majunya peradaban. Inilah mungkin yang menjadi solusi dari gerakan literasi yang minim bagi kita, terutama penduduk yang katanya minat literasi rendah dan belum siap untuk menjadi negara maju.

Categorized in: