Oleh: Ulul Albab Fatahillah

(Santri di Rumah Syariah sekaligus Ahbab Gus Wildan & Kanjeng Sidi al-Ustad Ridha al-Mahally)

Imam al-Razi bernama lengkap Muhammad bin Dhiyaud-Din Umar bin Husein bin Hasan, seorang anak yang terlahir dengan kecerdasan luar biasa hingga dunia mengenalnya sebagai Syaikhul Islam Fakhruddin al-Razy atau Ibnu al-Khatib al-Ray. Beliau dilahirkan pada tahun 544 H di desa Ray, wilayah Iran saat ini.

Al-Razi adalah satu dari sekian ulama’ yang mampu mengusai berbagai disiplin ilmu. Mulai dari ilmu alat, tafsir, hadis, hingga filsafat. Di antara bukti kepiawaian beliau adalah karya fonumental tafsir Mafatih al-Ghaib yang mencapai 30 jilid.

Tak hanya itu, karya sang Imam pernah tercatat mencapai 400 buah dalam 60 disiplin ilmu. Sehingga, tak heran jika Imam al-Dawudi dalam kitabnya Thabaqah al-Mufassirin mengatakan:

الإمام العلامة سلطان المتكلمين في زمانه. المفسر إمام وقته في العلوم العقليلة وأحد الأئمة في العلوم الشرعية. وأحد المبعوثين على رأس المائة السادسة لتجديد الدين. وكان له مجلس كبير يحضره الخاص والعام.

“Al-Imam al-Allamah, pemimpin kaum teolog pada zamanya. Al-Mufassir, Imam dalam bidang ilmu Aqliah, dan salah satu imam dalam ilmu-ilmu syariah. Salah seorang yang diutus dalam 100 tahun sekali (mujaddid) pada abad ke 6. Dan ia memiliki majlis yang dihadiri ulama’ maupun orang awam’’.

Akan tetapi, dengan karya dan gelar yang mentereng, lantas tak menjadikanya sebagai ulama’ yang terhindar dari cacian. Al-Razi pada masa hidupnya sering menuai kritikan, fitnah bahkan umpatan. Maka, tak heran jika ia memiliki banyak musuh pada saat itu, lantaran kegigihannya dalam mempertahnkan akidah Ay’arian.

Pada akhirnya, ia wafat dalam keadaan yang cukup menyedihkan. Hal itu tatkala ia berbuka puasa pada bulan Ramadhan dalam keadaan makanan yang sudah tercampur dengan racun. Banyak riwayat mengatakan bahwa peletak racun dalam makanan al-Razi adalah salah seorang dari kaum al-Karamiah.

Lantas yang menjadi pertanyaan, mengapa mereka tega berbuat demikian???

Al-Karamiah adalah salah satu dari sekian golongan Mujassimah. Aliran keagamaan ini dipelopori oleh Ibnu Karam al-Sijistani. Kemudian, salah satu kebatilan ajaran mereka adalah menggambarkan Tuhan bertubuh sebagaimana manusia. Lantaran mereka tidak peduli ketika sesuatu yang Hadis menempel pada dzat Qadim. Maka dari itu, Imam Shawi dalam kitabnya Hasyiah al-Shawi Ala al-Kharidah Bahiah mengatakan(51):

وأما الكرامية فإنهم يقولون إن كلامه تعالى  بحروف وأصوات حادثة. ولا يبالون بقيام الحادث بالقديم.

Adapun Karamiah, mereka mengatakan bahwa kalamullah berupa huruf dan suara. Dan mereka tidak peduli akan bersandarya suatu yang Hadis pada dzat Qadim’’

Dari penjelasan di atas, maka dapat kita simpulkan bahwa ajaran Karamiah menyelisihi Ahlu al-Sunnah. Karena, ajaran Ahlu al-Sunnah tidak pernah menyakini bahwa Allah semisal dengan makhlukNya. Maka dari itu, Imam al-Razi selaku punggawa ajaran Ahlu al-Sunnah, sangat getol dalam memerangi paham Karamiah.

 Bahkan, tak hanya itu, Syekh Anas al-Syarfawi dalam kajian kitab Tuhfah al-Murid mengatakan bahwa Imam Razi secara tegas mengkafirkan kaum Karamiah. Pengkafiran tersebut dikarenakan atas dasar keyakinan Tajsim mereka terhadap dzat Allah taala.

Maka, seiring berjalannya waktu, argumen al-Razi mampu membungkam ocehan Karamiah. Hal itu, lantas menjadikan mereka naik pitam. Berbagai fitnah dan hinaan dilontarkan agar sang Imam berhenti dari perbuatannya.

Ada sebuah riwayat mengatakan bahwa kaum Karamiah pernah menfitnah keluarga al-Razi. Mereka mengatakan bahwa istri al-Razi ialah wanita pezina. Anaknya adalah seorang remaja yang fasik karena sering meminum Khamr dsb.

Namun, dari berbagai fitnah yang menimpa al-Razi, lantas hanya ia jadikan sebagai ujian kesabaran dari Allah taala. Dalam hatinya pun tak ada rasa takut dan gentar akan hal yang akan menimpa dirinya. Sehingga, ia tetap kokoh dalam menyampaikan kebenaran dan memberantas kebatilan.

Hal itu lantas membuat kaum Karamiah putus asa. Segala upaya mereka gapai tapi berujung sia-sia. Hanya ada satu cara agar al-Razi tidak mengusik paham mereka lagi. Tak lain, cara tersebut berupa upaya pembunuhan dengan mencampurkan racun di dalam jamuan buka puasa keluarga al-Razi. Sehingga, beliau wafat pada saat itu bertepatan pada awal bulan Ramadhan tahun 606 H.

Terakhir, terdapat satu kisah yang membuat telinga agak sedikit berdengung. Kisah tersebut terdapat dalam kitab al-Dzail Ala Raudhah al-Thalibin; Tarajim al-Rijal al-Qornain(68):

Setelah wafatnya Imam Fakhruddin al-Razi, mereka (kaum Karamiah) merayakan Idul Fitri sekaligus perayaan terbunuhnya beliau (Idu al-Fitri wa Idu Qatli al-Razi), semoga Allah merahmati beliau’’.

Sekian, Wallahu A’lam

Categorized in: